Jumat, 14 Oktober 2011

Fanfiction 'Oretachi Wa Kaze Ni Aeta Toki part.2'

Fanfiction

Title                       : Oretachi Wa Kaze Ni Aeta Toki (Angin Yang Mempertemukan Kita)

Genre                   : Romance -______-

Ratting                 : PG, nyerempet NC dikit.

Author                 : Lisa Wulan Novianti

Char                      : Daiki Shigeoka (7WEST) x Fujii Yuuki (OC) , Ryusei Fujii (7WEST) x Kyouya Kenichi (OC),Nozomu Kotaki (7WEST) X Yanagi Riisa (OC) dan segelintir orang lewat.



SEBELUMNYA HARAP DIMENGERTI YA~ INI FF ALURNYA MAJU MUNDUR GITU YAAAA~

============== (garis pembatas antar alur) +++++++++++ (garis pembatas antar POV)  :ngakak

Oretachi Wa Kaze Ni Aeta Toki part2


#KENICHI POV#

Aku berlari menghambur kedalam kamarku, kubaringkan tubuhku, air mata ini tak daoat berhenti sedari tadi. Aku tak bisa menerima semua ini. Ryuuuusseeeiii aku sangat membutuhkanmu.

“Kenichi, buka, buka pintunya. Okaasan mau bicara” Ucap Okaasan dari luar kamar. Mau bicara apa dia? Paling juga rencana untuk mengugurkan anak ini. Tidak akan ku biarkan.

“Tidak, aku tidak mau. Aku akan menjaga anak ini” Bentakku sambil menangis.

Sejak dokter memberitahu soal keadaan ku, okaasan terus membujukku untuk mengugurkannya. Aku tak akan pernah mau kalau harus membunuh anak ini.

One new mail. One new mail.

Aku membuka ponselku, melihat layarnya dengan sigap. “Ryusei” ucapku dalam hati.

From : Ryusei

Subject : Doushita

Doushita? Kau dimana? Sedang apa? Bagaimana keadaan mu? Ada apa denganmu? Aku mengkhawatirkanmu tahu.

AKu menangis, terus menangis sambil menatap layar ponsel ku. aku memeluk ponselku, lalu ku coba tersenyum.

“Selamat tinggal Ryusei” Ucapku dalam hati.

Aku mengambil pisau cutter dari dalam tempat pensilku, aku menatapnya. Lebih baik aku pergi bersama anak ini dari pada hanya dia yang pergi. Bagaimanapun, didalamnya mengalir darahku.

Aku menempelkan ujung pisau ini dipergelangan tanganku.

One new emai. One new email.

Aku membuka ponselku lagi. “Ryusei? Lagi?” Ucapku sedikit bingung.

From : Ryusei

Subject : -

Ganbareeeeeeee. Aku tak tahu apa masalahmu, tapi aku yakin kau sedang ada masalah kan? Semangatlah. Kenichi, Daisuki da yooooooooooooooooooooooooo. Daisuki daisuki daisuki. Kimi ga daisuki. Cepat hubungi aku jika kau sudah stabil. I love you Kenichi.
Your Love, Fuuji Ryusei

Aku tersenyum menatap layar penselku, perlahan ku seka airmata yang masih terus mengalir ini. Aku akan mencoba kuat, untuk Ryusei dan anak ini. Aku mengelus perutku yang masih rata, dan perlahan mataku terlelap.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

#RYUSEI POV#

Aku membaringkan tubuhku dikasur, ku tatap langit-langit kamarku yang kosong. Sama seperti hari ini, kosong tanpa kehadiran Kenichi. Hari ini aku tak mendapatinya, sudah ku Tanya dengan RIisa, tapi Riisa bilang Kenichi sedang sakit oleh sebab itu dia tidak masuk. Tapiii, batinku berkata lain, aku merasa dia sedang ada masalah. Kyouya Kenichi kemana kau???? Arrrrrggghhhhhh

Denwa da yo. Denwa da yo.

Aku mengambil ponselku dengan malas, perlahan ku flip ponselku lalu menempelkannya pada telingaku.

“Moshi.moshi” ucapku dengan malas.

Aku tak mendengar seseorang pun berkata dari sebrang sana. Aku melihat layar penselku “Honey” sentakku. Nama Kenichi dipenselku adalah ‘honey’

“Moshi-moshi doushita Kenichi? Aku mengkahwatirkan mu” Ucapku dengan terburu-buru. Aku tak mendengar jawaban dari sebrang sana.

“Kenichi, apa kau mendengarku? Jawablah”

“Aku menyayangimu Ryusei. Aku menyayangi mu” Ucap Kenichi sambil terisak.

Ada apa ini? Kenapa dia seperti itu? Ada yang salah denganku? Aku bertanya=Tanya sendir, pikiranku melayang-layang menerka yang sebenarnya.

“Apa yang kau katakan? Bisakah kau temui aku di taman sekarang?” Tanya ku tak sabar.

“Unn. Baiklah” lalu seketika sambungan telepon itu terputus.

Dengan segera aku mengganti bajuku. Secepat mungkin aku menuju taman dekat sekolah, taman dimana tempat aku dan Kenichi menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah.

Kini tubuhku terpaku menatap lampu taman ini, keadaan sekitar masih sangat ramai, ini masih sore, wajar saja. Lama aku menunggu, perlahan taman ini menjadi sepi seiring terbenamnya matahari semakin lama semakin sepi. Aku masih terus menunggu Kenichi yang tak kunjung datang.

“Ryusei” Teriak Kenichi dari kejauhan. Aku bangkit dan segera berlari memeluknya. Dirinya terlihat sangat kacau.

“Ada apa?” tanyaku sambil tetap mencoba menenangkannya. Kami lalu duduk dibangku taman ini. Hari sudah sangat senja. Kenichi masih saja diam, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku merangkulnya, membenamkan tubuhnya kedalam pelukanku.

“Ceritalah”

“A. Aku… Aku hamil dan Okaasan menyuruhku mengugurkannya” Ucapnya sambil menyeka air matanya.

AKu tak menjawabnya. Aku sendiri benar-benar kaget mendengar pengakuan itu, sungguh aku tidak pernah berbuat apapun pada Kenichi.

“Setelah berusaha sekuat tenang, aku berhasil membujuk Okaasan untuk tidak mengugurkan anak ini. Tapi dengan satu syarat” Lanjutnya.

“Apa?” Tanyaku penasaran.

“Aku harus meninggalkan Jepang” Jawabnya. Aku memeluk Kenichi dengan erat. Seakan tak mau kehilangan Kenichi. Aku tak akan rela jika dia harus pergi dari sisiku.

“Bagaimana dengan ku? aku sangat mencintaimu. Ku mohon jangan pergi” Pinta ku.

“Aku juga mencintaimu Ryusei, gomen na. aku harus mengikuti permintaan Okaasama. Demi anak kita. Aku akan kembali suatu saat nanti” Ucapnya sambil tersenyum disela tangisnya.

Aku membalas senyuman. Dia bilang anak kita. Aku merasa bahagia mendengarnya.

“Kalau begitu izinkan aku menjagamu dan mengurus anak ini setelah dia lahir. Bagaimana?” Tanya ku dengan semangat.

Kenichi mengangguk. “Baiklah. Jika itu maumu. Aku akan selalu mengingatku” Ucapnya dan memelukku dengan erat.

“Jika anak ini lahir laki-laki aku akan memberinya nama Fujii Ryuhei dan kalau perempuan akan aku beri nama Fujii Yuuki” Ucapku sambil mengelus perut Kenichi yang masih rata.

“baiklah Otousan” Ucapnya.

Bahagia rasanya bisa melihat Kenichi tersenyum walau seiring berjalannya waktu maka waktu ku dengannya semakin dikit.

8 BULAN KEMUDIAN

Aku memandang dari luar kaca, melihat Kenichi berjuang mati-matian melahirkan. Oleh sebab itu aku sangat menyayangi Okaasan. Karena perjuangan Okaasan melahirkan seorang anak adalah sangat berat, bertaruh dengan maut.

Kedua orang tua Kenichi berdiri disampingku, menatap ku dengan tatapan penuh kebencian. Biarlah, aku tak perduli walau mereka membenciku dan mengaggapku sampah dalam kehidupan Kenichi. Apapun yang terjadi aku akan tetap bertanggung jawab. Aku bukanlah laki-laki sembarangan.

Tak lama senyumku berkembang saat mendengar suara nyaring tangisan dari dalam ruang bersalin “yokatta” seruku dalam hati. Aku merasa lega Kenichi telah berhasil, aku bahagia sekali.

“Omedetou, anak anda perempuan, manis sekali sama seperti anda” Ucap seorang dokter kepada Kenichi.

Sudah satu minggu Yuuki ada dirumahku, Yuuki sama sekali tidak merepotkanku, dia sangat tenang. Okaasan memberinya susu kaleng. Walau bukan asi aku berharap Yuuki tumbuh dengan normal.

Hari ini juga Kenichi harus meninggalkan Jepang, meninggalkan aku dan tentunya Yuuki.

“Jaga Yuuki baik-baik Otousan. Aku akan kembali” Ucapnya sambil menangis dalam pelukku.

Aku mengagguk “Unn, aku berjanji akan menjaganya baik-baik. Jaga dirimu baik-baik Kenichi. Aku mencintaimu” Ucapku, tak terasa air mataku sudah mengalir.

“Atashi mo” Sesaat orang tua Kenichi menarik paksa tubuhnya. Tangan Kenichi masih beroegangan dengan tanganku. Perlahan aku melepaskan tangan Kenichi. Aku tersenyum, doa’a ku semoga dia bahagia disana. Beberapa detik kemudian bayangan Kenichi betul-betul hilang dari pandanganku. Aku menghapus airmataku dan menarik nafas yang panjang. Mencoba untuk tegar atas ini semua.

Sepulang dari bandara, aku menatap tubuh itu, tubuh Kecil Yuuki, pipinya kemerahan, manis sekali. Memang benar kata dokter itu, wajah Yuuki sangat mirip dengan Kenichi.

Yuki tumbuh selayaknya anak kecil yang lain, bermain ditaman dengan teman-temannya. Aku juga selalu bilang kalau aku kan melakukan yang terbaik untuk Yuuki.

“Kenapa kau menangis?” Tanyaku pada Yuuki saat dia baru saja pulang dari sekolah pertamanya, TK.

“Otousan, apa aku ini punya Okaasan?” Tanyanya sambil masih terus menangis.

Aku terdia mendengarnya. Aku bingung harus menjawab dengan jawaban apa. Apa yang harus aku katakan? Tidak mungkin aku berbohong padanya. Tapi kalau ku katakan yang sebenarnya itu pastin akan sangat menyiksa batin Yuuki.

“Otousan, jawab. Aku ini punya Okaasan ne? kalau iya, dimana dia?” Tanyanya.

=====================================================================================

#RIISA POV#

Aku berjalan dikoridor kampus yang besar itu, ku tautkan headphone kesayangan ku dikupingku. Banyak yang bertanya ‘kenapa aku bisa menolak Nozomu’ jawabannya adalah ‘karena dia masih sangat kecil utnukku’ tapi semua itu salah. Aku menutupi perasaanku pada Nozomu. Sebenarnya aku juga menyukainya. Tapi apa mau dikata, aku sama sekali tidak mau mengaggu Nozomu. Dia adalah murid yag pintar dan rajin, kalau dia berpacaran dengan ku apa jadinya? Pasti prestainya akan menurun. Aku tidak mau itu terjadi pada Nozomu.

Aku melirik kesampingku, aku pura-pura tidak melihatnya. Shigeoka Daiki, dan seorang gadis bernama Yuuki. Aku rasa Yuuki itu anak Kenichi teman lamaku saat SMU. Wajahnya sangat mirip dengan Kenichi. Aku pura-pura tak mendengarnya. Padahal dari tadi Shige terus memanggil namaku.

“Aku mendengarnya Shige” Ucapku setengah berteriak. Saat Shige hendak berteriak di telingaku.

“Ah, senpai. Gomen. Ku kira kau tak mendengar kami. A.. Senpai, bisa bicara sebentar?” Tanya Shige.

Aku mengagguk, lalu kami bertiga duduk di bangku taman didalam universitas ini.

“Ada apa kalian mengajak ku berbicara?” Tanyaku datar sambil mengikir kuku ku.

“Etto, Senpai, kenapa kau selalu menolah Nozomu? Nozomu kan menyukai mu senpai” Jelas Shige. Ahh, payah. Aku malas jika harus membicarakan hal ini. Yang ada saat sampai dirumah aku ingin berteriak kalau aku juga menyukai Nozomu.

“Dia itu hanya anak kecil. Bahkan umurnya lebih muda darimu kan?”

“Tapi, apakah cinta harus selalu dengan yang seumur?” Tanya Yuuki, wajah dan suaranya begitu mengingatkan aku pada Kenichi, aku merindukan Kenichi. Sangat merindukannya.

“Tidak, tapi dia masih anak kecil, tidak bisa mengimbangi ku yang sudah dewasa”

“Hah? Mengimbangimu? Nozomu juga selalu bersikap dewasa bukan? Nozomu itu sangat dewasa menurutku” Tutur Shige mencoba menjelaskan.

“Ahhh, Tidak. Pokonya dimataku dia tetaplah anak kecil”

“Lalu? Sikap seperti apa yang kau butuhkan agar kau bisa menyukai Nozomu?” Tanya Yuuki yang begitu mengagetkanku. Seandainya separuh diri dari Kenichi, mungkin tebakannya benar. Tapi, sejujurnya juga kalau ku bilang Nozomu punya semua karakter cowok yang ku suka.

“Eh? Sudah. Sudah. Aku sudah punya Yuma kan. Jadi aku mencoba setia padanya. Aku tidak akan menyakiti hati Yuma” Ucapku lalu pergi meninggalkan mereka.

Lagi-lagi perasaan ini tak bisa tersampaikan dengan baik. Kalau tau akan begini aku tidak akan pernah mau jatuh cinta pada Nozomu.

Aku berlari, ku tolohkan kepalaku kebelakang, mereka tidak mengejarku. Untunglah. Aku berpacaran dengan Yuma hanya agar Nozomu menjauhi dan membenciku. Tapi semakin aku bermesraan dengan Yuma, sepertinya hasrat Nozomu semakin menggebu. Aku pun tidak mengerti mengapa dia bisa seperti itu.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

#SHIGEOKA POV#

Hari ini, pengulikanku tidak membuahkan hasil, Riisa senpai memang seperti itu, sulit dimengerti, terkadang bisa sangat manis, tapi terkadang bisa sangat aneh. Hahahaha. Mulai saat Yuuki bilang akan membantuku, aku merasakan sesuatu yang mengganjal didalam diriku, rasanya indah, seperti bunga sakura yang berguguran didalam hatiku. Aku merasa bahagia dengan gadis bersifat tsundere ini, walau kadang-kadang rasanya aku ingin sekali berteriak ‘hangatlah sedikit’ karena sikapnya yang begitu dingin padaku.

“Kau melamun?” Tanya Yuuki mengagetkanku.

“Ini, lihatlah. Ekspresi melamunmu sangat bagus” Lanjutnya lagi, sambil menunjukkan hasil jepretannya, kali ini kameranya tanpa lesa tambahan. Hanya lensa standar. Aku jadi merasa bersalah. Tapi aku kagum padanya. Walau hanya pakai lensa standar dia bisa memotret diriku dengan bagus.

“Hmm, Bagus. Wajahku memang bagus untuk dipotret jadi hasil fotomu selalu terlihat bagus apabila objeknya aku” Ucapku dengan polos dan tak terkendali.

“heh? BAKA!” teriaknya lalu tertawa. saat tertawa aku dapat melihat tatapan matanya yang sangat dingin tapi disatu sisis aku yakin dia bisa sangat menyenangkan.

“Yuuki chan, Etto, dimatamu ada saljunya ya?” Tanyaku iseng.

“Eh? Mana?” Yuuki sedikit panik, dan mengedipkan matanya, lalu mengelap matanya menggunakan saputangan. “Tak ada” Katanya kesal dengan wajah yang lucu.

“Hmm, ada kok, habis setiap menatapmu aku selalu merasa sejuk” Seruku usil lagi, aku mencoba merayunya.

Pleeetttaaakkkk

“Itaaaiii” Ucapku sambil mengelus kepalaku. “Kenapa kau memukulku hah?” Lanjutku.

“Kau tak pantas bicara seperti itu” Jawabnya kesal. Tapi aku melihat segaris senyuman malu dari bibir manisnya itu. Mungkinkah ini cinta?

“E. Yuuki chan, chotto. Aku boleh Tanya sesuatu nga. Kenapa sih kita harus belajar bahasa Inggiris?”

“Tidak, kenapa? Mungkin biar kita pintar bahasa Inggris”

“Menurutku suapaya kita lebih lancar mengucapkan ‘I Love You’” Jawabku sambil tertawa.

Wajah Yuuki memerah. Dirinya tertunduk. Dengan muka kesal. Diambil tasnya lalu pergi meninggalkan ku.

Aku lantas mengejarnya. tak mungkin aku membiarkannya pulang sendirian.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

#YUUKI POV#

Riisa senpai itu sangat cantik menurutku, dia wanita yang baik kalau ku pikir. Tak mungkin dia bisa menoak Nozomu yang secara garis besar sangat sempurna kalau di ceritakan oleh Shige si konyol.

Aku hanya menangkap sedikit dari pembicaraan kita saat di universitas. Aku hanya menangkap kalau Riisa Senpai menutupi sesuatu. Itu pasti, ada yang ditutupi oleh Riisa Senpai. Kalau tidak pasti gaya bicaranya tenang dan tidak terbata. Selain itu ekspresi wajahnya juga sepertin orang yang ketakutan.

Seusai mengulik tentang Riisa senpai, Shige meneraktirku di salah satu café di dekat universitasnya itu. Saat itu dia melamun, dan aku sengaja memotretnya. Ekspresi yang bagus mr.konyol. tapi aku kesal dengan sombong dia bilang kalau bukan karena teknikku, tapi karena memang wajahnya yang bagus untuk dijadikan model. Dasar sombong.

Hmmmmm, tapi di pikir-pikir benar juga sih, kalau wajah Shige memang bagus untuk dijadikan objek. Sesaat dia merayuku dengan rayuan gombal. Aku kesal sekali. Aku meninggalkannya pulang sendiri dan dia mengejarku. Aku tau, dia pasti mengejarku. Mana mungkin tega Shige meninggalkanku.

“Kenichi, ini pakai jaketnya. Kau jangan sampai kedinginnan ya” Aku menoleh kearah seoarang nenek yang memakaikan jaket pada seoarang wanita, mungkin sepantar dengan Otousama. Wajah perempuan itu sangat pucat, mirip seperti mayat. Aku kesal dengan wanita itu, kenapa harus tega membiarkan nenek itu melepas jaketnya dan dia memakai jaket itu.

“Hey, ayo masuk. Kau tidak mau pulang?” Tanya Shige mengagetkanku. Aku melangkahkan kakiku kedalam kereta listrik yang akan membawaku ke stasiun dekat rumah tentunya. Aku masih memperhatikan wanita tadi, lagi-lagi dia membiarkan nenek itu berdiri sedangkan dia duduk. Aku menghampiri wanita itu.

“Maaf nona, apa anda tidak kasihan pada nenek ini?” Tanyaku kearahnya.

“Yuuki, apa yang kau lakukan?” Teriak Shige dari kejauhan.

Wanita itu diam, nenek itu menepuk pundakku “Sudah tidak apa-apa” Ucap nenek itu.

“Hey, kau ini benar-benar tega pada ibumu sendiri ya. Kau ini tidak punya hati” Ucapku dengan kesal. Aku tau aku membenci seorang ibu, tapi aku tidak akan tinggal diam bila ada anak yang berkelakukan seperti itu pada ibunya.

Wanita itu diam lagi, tak ada ekspresi apa-apa darinya. “Yuuukkiiiiii” Tiba-tiba dia meneriakkan namaku. Aku tersontak kaget mendengarnya. Kenapa dia tau namaku? Kenapa dia bisa tau?

Next Stop….

Shige menarik tanganku dan kamipun turun. Aku masih diam walau Shige sudah berbicara beberapa kalimat, memarahiku yang berkelakuan tidak sopan pada orang yang tidak dikenal.

“Yuuki chan. Kau mendengarku?” Tanyanya.

“Un” Aku mengangguk dan diam lagi. Tangan Shige menggenggam tanganku, rasanya hangat, sama hangan dengan pelukan dan genggaman Otousan dan Obaachan.

“Shige, kau dengar tidak, dia memanggil namaku?” Tanyaku pada Shige.

“Un, dia berteriak Yuukiiiiii. Seperti itu kan?” Shige memperaktekan. Suaranya begitu mengelegar ditelingaku. Dasar konyo.

“Yaa. Benar. Tapi dari mana dia tau namaku?” Tanyaku heran.

“Mana ku tau, mungkin saja dia bisa membaca pikiran atau penebak jitu, atau….” Shiget terus menerka-nerka. Aku tak memperdulikan ucapannya. Yang aku pikirkan hanya wanita berwajah pucat tadi. Kalau ku ingat-ingat wajahnya lumayan mirip dengan ku. ahhh, mungkin hanya halusinasi ku saja.

“Wanita tadi mirip denganmu ya?”

“Eh? Apanya?” Tanyaku bingung.

“Wajahnya. Menurutku sangat mirip” Ucap Shige dengan penuh keyakinan.

Astaga, ada apa ini? Aku seperti terperangkap oleh bayangan wanita tadi.

Kenapa aku ini? Kenapa bayangan wanita itu semakin masuk kedalam pikiranku? Semakin mengelilingi pikiranku? Siapa sebenarnya wanita itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks For Leave A Coment