Selasa, 26 Juli 2011

Fanfiction NC-17 'Memories Of Summer'

Geeeellllllaaaaaa.

Streze sangattttt. sumpah aku nga abis pikir. hahahaha

Bunda. Hontou ni Sugoi desu. hahaha

See, My fanfiction NC-17

Memories of Summer


Author : Dinchan Tegoshi

Title        : Memories of Summer
Author    : Dinchan Tegoshi
Type          : Oneshot
Genre        : Romance *ya iyalah~*, SMUT
Ratting    : NC-17
Fandom    : JE
Starring    : Nakayama Yuma (NYC), Lisa (OC), Din (OC), dan selentingan orang lewat – lewat.XP
Disclaimer    : I don’t own all character here.  Nakayama Yuma is belong to Johnnys & Association. Other character is my OC, I write this because my daughter’s request... it’s just a fiction, read it happily, and I do LOVE COMMENTS... pelase comments... Thanks.. ^^
WARNING!!! This is SMUT that contain sexual intercourse!! I HAVE WARNED YOU~ So, If you feel like you don’t want to read some sexual scene... DON’T READ!! I WARNED YOU~ okay?? ^^


Lisa mengelap keringatnya yang sejak tadi terus mengalir di dahinya. Ini sudah malam, tapi udara musim panas begitu menyiksanya.

“Atsuiii~”, seru Yuma yang juga ikut keluar membuang sampah sisa makanan dengannya.

“Darou… panas sekali…”, keluh Lisa lagi.

Yuma membuka kaos yang ia pakai, “Ffuuaaa~ lebih baik..”, katanya seraya membuka kedua tangannya agar angin mengenai badannya.

“Baka… kau bisa masuk angin..”, protes Lisa.

“Muri da yo~ aku kan kuat…”, katanya sambil berpose a la superman yang sukses membuat Lisa tertawa.

Musim panas ini memang dipakai Lisa untuk bekerja paruh waktu di sebuah kedai di dekat pantai. Selain bayarannya yang lumayan, ia sekalian bisa berlibur karena tempatnya di pinggir pantai dan ia bisa menginap gratis di kedai ini. Jadi walaupun capek, mendapat uang sekaligus berlibur gratis siapa yang menolak?

Di tempat inilah ia bertemu Yuma. Namanya Nakayama Yuma. Ia datang dari Tokyo, sama – sama bekerja paruh waktu. Alasannya untuk mencari pengalaman semasa muda. Yah, Lisa tak merasa harus bertanya lebih jauh tentang orang ini. Toh setelah tiga bulan mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing – masing.

Yuma type laki – laki yang cukup ramah, ia juga tak segan bertanya, atau membantu Lisa. Selain itu Yuma juga bisa dibilang cukup tampan, terbukti kedai ini tak pernah kosong dari pelanggan wanita selama Yuma menjaganya hampir dua minggu ini.

“Ne… mau coba berenang malam – malam?”, tanya Yuma pada Lisa.

“Tentu saja jawabannya tidak…”, Lisa menggeleng dan meninggalkan Yuma di pinggir kedai.

“Ah.. Lisa-chan.. gak asyik nih..”, seru Yuma sambil menyenggol pelan bahu Lisa, ternyata laki – laki itu sudah berada di sampingnya.

“Tidak…. jelas?”, Lisa mendorong Yuma, “Sudahlah.. aku capek.. mau tidur… jya!! Otsukareee…”, kata Lisa lalu segera masuk ke kamarnya.

“Membosankan…”, cibir Yuma.

“Dua gelas orange juice, satu bir, meja 12…”, seru Lisa pada Yuma yang sedang bertugas dibalik meja pesanan.

“Wakatta..”

“Kyaaaa… Yuma-chan kakkoi naaa~”, seru gadis – gadis yang dengan betahnya melihat Yuma dari jarak dekat. Sengaja duduk di bar agar bisa melihat Yuma dengan dekat.

Yuma mengerling pada para fans nya itu, “Kalian juga cantik – cantik kok…”, katanya pada gadis – gadis ber bikini itu.

“Hiiy~”, cibir Lisa malas, “Dasar tebar pesona…”, katanya lagi.

“Lisa!! Ini pesanan meja sebelah sana!!”, teriakan Ichiko membuat Lisa sadar dan segera mengambil pesanan itu.

Di kedai ini total ada lima orang yang bekerja paruh waktu. Lisa, Yuma, selain itu ada Ichiko yang merupakan anak pemilik kedai, serta dua orang yang datang dari Tokyo juga, mereka sahabat katanya, Ryutaro dan Kento. Selain Ichiko, yang lainnya hanya pendatang yang sekalian berlibur di pantai itu.

Mereka dibagi menjadi shift siang dan malam. Mereka bergantian menjaga kedai, dan Lisa selalu kebagian bersama Yuma.

“Irrashaimasee!!”, seru Lisa menyambut tamu yang baru saja masuk ke kedai.

Ternyata seorang wanita yang terlihat cukup dewasa. Mungkin umurnya sekitar 23 tahun, memakai baju terusan dan terlihat mencari seseorang.

“Silahkan… kursi yang disana kosong…”, kata Lisa mengantar tamu itu.

Wanita itu tersenyum dan mengkiuti Lisa duduk di sebuah kursi yang kosong, yang langsung menghadap ke bar.

“Yosh~ mau pesan….”, Yuma kaget melihat orang yang baru saja datang itu, “a…pa?”, tanyanya dengan ekspresi wajah yang sangat kaget.

“Yuma-chan… bisa kita bicara?”, tanya wanita itu.

Yuma menghela nafas tapi lalu membuang pandangannya, “Aku masih kerja…”, jawabnya dengan dingin.

Lisa hanya bisa diam melihat kejadian itu. Sepertinya ada masalah di antara dua orang itu, tapi Lisa tak tahu apa itu.

“Aku akan menunggumu selesai…”, kata wanita itu serius.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga sore, itu artinya saatnya ia bergantian shift dengan Ryutaro dan Kento. Lisa menawarkan diri untuk menyelesaikan semuanya sebelum Ryutaro datang, agar Yuma bisa berbicara dengan tamu yang sejak tadi masih saja menunggu Yuma.

Entah kenapa, tapi Lisa merasa saat tamu ini datang, Yuma terlihat lebih murung tak seperti biasanya, tapi ia berusaha tak memikirkan hal itu, karena dia fikir itu bukan urusannya.

“Din…kita sudah berakhir…”, Lisa terdiam karena tak sengaja mendengar Yuma dan wanita tadi sedang berbicara di belakang kedai.

“Yuma-chan…. Kau masih tak bisa memaafkan aku?”, tanya Din sambil berdiri meraih tangan Yuma.

“Kau sendiri kan yang memilih untuk menikahi pria itu? Jadi, sekarang semuanya sudah berakhir…”, kata Yuma lagi, berusaha tak memandang Din karena ia tak mau menjadi lemah lagi.

“Tapi, mana bisa aku menikah tanpa kau menghadiri pernikahanku??!! Ne?? Yuma-chaaann!!”, seru Din mengguncang tangan Yuma.

Yuma terdiam, sesaat kemudian Yuma menggenggam tangan Din, “Baka… aku berusaha keras agar aku bisa melupakanmu… sekarang… kau harus bahagia dengan pria pilihanmu itu… wakkatteru?”, bisik Yuma, namun Lisa masih bisa mendengarnya.

“Gomen na… Yuma-chan…”, jawab Din.

“Aku akan datang ke pernikahanmu.. aku janji… sekarang, kau pulang saja… mengerti?”, Yuma memandang Din yang akhirnya mengangguk.

Lisa menutup mulutnya dan merasa tak seharusnya ia mendengar itu semua.

PRANG!!

Lisa merutuki dirinya sendiri karena menyenggol sebuah piring sehingga menimbulkan bunyi. Ia segera bergerak menjauhi tempat itu, berharap Yuma tak menyadarinya.

“Ne…. kau melihatnya ya?”, tanya Yuma malam itu ketika Lisa sedang duduk di sebuah ayunan dekat kedai yang langsung menghadap ke pantai.

Lisa menoleh, “Gomen… aku tak sengaja… aku hanya sedang menyimpan gelas yang baru saja ku cuci…”, jawabnya.

“Tak apa…”, Yuma duduk di ayunan sebelah, “Ia alasanku kesini…”, jelasnya tiba – tiba.

“Hah?”

“Ya… wanita tadi adalah pacarku… sekarang sudah mantan…”

“Sou…”, Lisa diam tak mampu menjawab.

“Aku sangat mencintainya, tapi akhirnya ia memilih pria lain…”, kata Yuma.

“Kenapa?”

“Karena aku tak bisa melakukan apapun untuknya…”, Yuma menggantung kalimatnya lalu mulai mengayunkan diri pelan, “Aku lebih muda darinya, masih sekolah, sedangkan ia baru saja lulus kuliah dan bertemu orang yang lebih baik dariku…”, jelas Yuma lagi.

“Sou ne…”

“Jadi aku memutuskan untuk pergi ke sini, untuk melupakannya…”, ujar Yuma.

Lisa menoleh memandang Yuma, “Bukankah lebih baik tidak dilupakan?”.

Yuma seketika berhenti, “Kenapa?”

“Karena kau pernah mencintainya sepenuh hati kan? Kenapa juga harus memaksakan diri untuk melupakannya? Pernah dengar kan, waktu akan menyembuhkan segalanya, jadi sampai saatnya kau memang akan melupakan dia, kau tak perlu memaksakan diri untuk melupakannya…”, Lisa tersenyum pada Yuma yang kini terdiam melihatnya, “Semakin kau mencoba melupakannya, bukankah kenangan dengannya akan semakin teringat?”

“Maa.. ne… kau benar juga…”, Yuma tertawa ringan, ia tak menyangka Lisa bisa berkata seperti itu.

“Ah.. gomen… aku jadi ngomong yang macam – macam…”, kata Lisa.

“Daijoubu… aku senang Lisa-chan ternyata lebih dewasa dari yang kupikirkan… hahaha..”, kata Yuma.

“Jadi nantinya dia akan jadi kenangan yang indah.. bukan kenangan yang buruk…”, ucap Lisa menambahkan.

Yuma berdiri dari ayunan itu, lalu menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Lisa.

“Hai… wakatta… arigatou na…”, kata Yuma lalu menyentuh pelan hidung Lisa.

“Kyaaa!! Yamete!!”, tolak Lisa.

“Awas hati – hati kau bisa jatuh cinta padaku…”, goda Yuma lagi.

Lisa berdiri meninggalkan Yuma, “Otsukaresamadeshita… Nakayama-san…”, serunya kesal sambil berlari kecil menuju kedai.

“Otsukare…”, Yuma tak bergeming, memandang laut sambil tersenyum.

Semakin hari Lisa semakin sering memperhatikan Yuma. Ia merutuki dirinya sendiri yang mualai memikirkan hal – hal lain disaat harusnya ia bekerja lebih keras.

“Baka… kau disini untuk kerja..”, gumamnya pada diri sendiri.

“Lisa-chan…”, panggil Yuma yang kini sudah merangkulnya.

Lisa melepaskan tangan Yuma, “Apa?”, tanyanya galak.

“Kamu tak dengar?? Kita disuruh ambil bahan bakar tambahan…”, kata Yuma.

“Hah?”

Yuma menarik tangan Lisa dan membawanya ke mobil pick up.

“Hah?”, Lisa masih bingung.

“Ayo cepat naik…”, kata Yuma sedikit memerintah.

Kedai itu memang masih seperti zaman dahulu. Mereka memakai kayu untuk memasak. Seperti yang sudah dilakukan sejak beberapa puluh tahun lalu. Maka jika persediaan hampir habis, mereka harus mengambilnya di hutan. Bukan artinya mereka harus memotong sendiri kayunya, tapi hanya mengambil persediaan dari orang yang sudah biasa memasok kayu – kayu tersebut.

“Makanya jangan melamun aja…”, kata Yuma sambil masih mengemudi.

Lisa hanya cemberut, malas menanggapi.

“Kau sedang ada masalah?”, tanya Yuma.

“Tidak…”, jawab Lisa singkat.

Yuma melirik sebentar ke arah Lisa, “Kau bohong ya?”, tanyanya.

Masalahnya cuma satu sebenarnya, ia menyadari kalau ia menyukai Yuma. Itu saja, tapi ia merasa terbebani dengan perasaan ini. Ia yakin kalau Yuma pastinya belum bisa melupakan wanita yang ia sebut sebagai mantannya itu. Bukankah dia sendiri yang bilang untuk tidak melupakannya?

“Hmmm… cemberut itu tidak cocok untukmu…”, kata Yuma.

“Sudahlah… nyetir saja yang benar…”, kata Lisa pada Yuma, lalu membuang muka melihat ke arah kaca luar, agar ia tak perlu melihat wajah Yuma.

Setelah mereka mengambil persediaan kayu bakar, sampai pulang pun Lisa menolak berbicara pada Yuma. Walaupun beberapa kali Yuma mencoba menggoda Lisa, tapi tetap saja Lisa tak menggubris Yuma.

Tak lama, tiba – tiba Yuma memberhentikan mobilnya.

“Ada apa?”, tanya Lisa.

“Aku mau menunjukkan sesuatu… ayo!!”, Yuma turun, tapi Lisa seakan enggan turun dari mobil pick up itu.

“Ada apa sih?”, tanya Lisa masih juga tak mau turun, “Nanti kita telat…”, ujar Lisa beralasan.

“Tak akan… kita masih punya banyak waktu kok.. ayo…”, ajak Yuma lagi, sekarang sambil membukakan pintu mobil.

“Mou… apa sih?”

Yuma menarik tangan Lisa, yang gadis itu lihat adalah sebuah tangga panjang menuju ke atas bukit. Ia terus bertanya – tanya sambil menelusuri anak tangga yang ternyata banyak sekali, dan membuatnya kecapekan.

“Aduh…masih jauh ya?”, keluh Lisa.

“Ini baru setengah perjalanan..”, kata Yuma.

“Tapi aku capek…”, Lisa diam tak mau melanjutkan perjalanan.

“Shoganai na..”, kata Yuma lalu dengan sekejap menggendong Lisa bagaikan seorang putri.

“Kyaaa!!! Lepas!! Turunkan akuuu!!”, protes Lisa.

“Shht~ katanya capek??”, Yuma menatapnya tajam membuat gadis itu tak bisa berkata apapun.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di sebuah tebing yang sekelilingnya sudah berpagar. Pemandangan di tebing itu sungguh menakjubkan, menampilkan bentangan alam dan laut yang begitu indah.

Yuma menurunkan Lisa yang kini tampaknya protesnya sudah tenggelam karena kekagumannya pada pemandangan di hadapannya.

“Sugoooiiii!! Indah sekali!!”, seru Lisa senang.

“Darou? Sudah kubilang kau tak akan kecewa…”, kata Yuma.

Senyum Lisa kini mengembang, ia memejamkan mata dan menghirup udara yang buatnya begitu menyejukkan.

Yuma terus memperhatikan gadis di sebelahnya itu. Terkadang ia tak tahu apa yang ada di otak gadis itu sehingga ia terpaksa menebak – nebak segalanya. Seperti hari ini, Lisa terlihat selalu murung dan tak ceria seperti biasanya. Membuatnya khawatir sekaligus bingung harus berbuat apa.

“Ne… aku boleh minta satu hal lagi?”, tanya Yuma.

“Apa?”

“Temani aku ke pernikahan Dinchan ya?”, bisiknya pelan.

=========

Yuma sudah terlihat gelisah sejak tadi pagi. Lisa tahu, ia pasti sangat gugup karena akan menghadiri pesta pernikahan wanita yang pernah ia cintai, bahkan mungkin masih ia cintai.

Tapi Lisa akhirnya menyetujui untuk menemani Yuma. Bukan karena apapun, hanya karena ia cukup khawatir pada Yuma.

Pesta itu akan dilaksanakan sejam lagi. Yuma dan Lisa menunggu di taman itu, tak ada pembicaraan apapun. Nampaknya keduanya asyik dengan pikirannya masing – masing.

Ponsel milik Yuma berbunyi, ia segera mengangkatnya.

“Moshi – moshi? Hai… aku sudah datang… apa?? Baiklah…”

Lisa menatap Yuma yang masih berbicara di telepon, “Ada apa?”, akhirnya Lisa bertanya.

“Sebentar ya… Din memintaku ke ruang gantinya…”, jelas Yuma lalu bergegas meninggalkan Lisa.

Yuma memandangi Din yang sudah siap dengan baju pengantinnya. Bukankah seharusnya ia sekarang ada di luar menunggu Din keluar? Ia harusnya menunggu di altar, bukan masuk ke ruang ganti pengantin wanita. Bukankah ia yang seharusnya sekarang merasa bahagia karena akan bersama selamanya?

Sayangnya kenyataan itu tak akan pernah terjadi. Senyum Din yang kini mengembang sama sekali bukan untuknya lagi, kini Din sudah memilih untuk memberikan senyumnya itu untuk orang lain.

“Yuma-chan…. Daijoubu?”, tanya Din karena melihat Yuma sepertinya melamun.

“Aku baik – baik saja…”, Yuma mencoba tersenyum lalu menghampiri Din.

“Aku gugup…”, kata Din sambil menarik nafas panjang.

Yuma meraih tangan Din, “Kau akan baik – baik saja…”, katanya mencoba menenangkan Din.

“Arigatou na… kau mau datang…”, kata Din menatap Yuma.

Yuma mengangguk, “Tentu saja… aku kan sudah janji…”, jawabnya.

“Yuma-chan…”, panggil Din, “Kau akan baik – baik saja kan? Kau janji akan lebih baik dari sekarang kan?”

Din tentu sangat khawatir akan keadaan Yuma.

“Aku memilih seperti ini, bukan karena aku tak mencintaimu… tapi, aku banyak sekali pertimbangan dan aku harap keputusanku ini yang terbaik… bagiku, dan bagi Yuma-chan..”, jelas Din lagi.

Yuma menunduk, menarik nafas panjang, mencoba tenang, “Wakatteru… aku akan baik – baik saja…”.

“Gomen na…”, kata Din pelan.

Yuma menarik Din ke dalam pelukannya sesaat, “Ganbare!!”, kata Yuma lalu segera melepaskan Din dan keluar dari ruangan itu.

Pesta sudah dimulai sejak tadi. Dengan begini Din juga sudah menikah dengan orang lain.

“Ne…daijoubu?”, tanya Lisa menunduk melihat Yuma yang terlihat sedikit murung.

Yuma tersenyum, “Apa sih… aku tak apa – apa tahu…”, katanya lalu menghindar dari Lisa, “Aku mau ambil minuman… kau mau?”.

Lisa mengikuti Yuma yang ternyata malah keluar dari arena pesta. Gadis itu menarik lengan Yuma, “Ne!! Yuma!!”, panggil Lisa.

Yuma terus berjalan hingga mereka berada di halte bis. Keheningan yang menyesakkan pun terjadi, dan Lisa tak tahan karena Yuma terlihat sangat depresi.

“Waratte… ne… waratte!!”, kata Lisa di hadapan Yuma.

Yuma mendongak melihat Lisa dengan pandangan hampa.

Lisa menyentuh pipi Yuma dengan kedua telapak tangannya, “Kau akan baik – baik saja…”, seru Lisa sambil tersenyum, dan menarik pipi Yuma hingga terlihat seperti tersenyum.

Ia tak menolak, Yuma lalu menyentuh tangan Lisa yang kini berada di pipinya, “Baka… demo… arigatou na…”, dan tanpa aba – aba Yuma berdiri lalu menempelkan bibirnya pada bibir Lisa.

Sesaat Lisa kaget dan matanya terbelalak karena tak menyangka Yuma akan menciumnya. Beberapa saat kemudian ciuman itu pun berakhir.

“Arigatou…”, bisik Yuma pelan, “Itu balasan dariku…”, katanya lagi lalu merengkuh tubuh Lisa, memeluknya erat.

“Yuma…”

“Gomen… bolehkan sebentar saja begini?”

Lisa tak menjawab, hanya membalas pelukan itu.

=============

Sejak hari itu Lisa tentu saja semakin mengharapkan Yuma, tapi sebagian dari perasaan Lisa juga mengatakan bahwa Yuma hanya menjadikan dirinya pelarian.

“Yo!! Lisa-chan…”, panggil Yuma lalu merangkul Lisa yang sedang duduk di balkon malam itu.

“Hah? Apa?”, tanya Lisa malas.

“Ini…”, Yuma menyerahkan sekaleng kopi dingin pada Lisa.

“Untuk apa?”

“Untukmu… apa lagi??”, tanya Yuma bingung.

“Ya… buat apa? Jangan – jangan kau mau meracuni aku ya?”, Lisa malah balik bertanya.

“Chigau… karena kulihat kau sepertinya murung.. ada apa? Hah?”, tanya Yuma yang belum juga melepaskan rangkulannya dari Lisa.

“Nani mo nai… sudahlah tak usah mengurusi aku…”, kata Lisa kesal.

Yuma mempererat rangkulannya, lalu tiba – tiba saja Lisa kini sudah berada di pelukan Yuma.

“Lepaskan…”, kata Lisa sambil mencoba melepaskan diri.

“Tidak mau…”, jawab Yuma.

Lisa mendorong Yuma dengan keras, “Aku tak mau kalau kau hanya memanfaatkan aku!!!”, seru Lisa lalu meninggalkan Yuma, ia menuju ke bawah dengan berlari.

“Lisa!!!”, panggil Yuma.

Lisa tak menjawab, ia terus berlari karena merasa tak sanggup lagi membendung air matanya. Ia terus berlari sambil menangis karena hatinya terasa sakit, ia tahu Yuma hanya memanfaatkannya.

Lisa terus berlari hingga tiba – tiba seseorang menarik tangannya.

“BAKA!!”, seru orang itu, yang Lisa tahu itu adalah Yuma.

Lisa masih terisak, tak mampu menjawab Yuma.

“Aku tak pernah berfikiran kalau kau itu pelarianku…”, bisik Yuma sambil masih memeluk Lisa yang terisak hebat.

“Uso… da ne??”, kata Lisa.

“Uso jyanai…”, Yuma mengendurkan pelukannya, lalu meraih bibir Lisa dengan bibirnya.

Lisa masih terus mencoba berontak, tapi Yuma tak melepaskannya, justru ciumannya semakin dalam, awalnya Lisa enggan membalas ciuman itu, namun akhirnya Lisa menyerah pada hasratnya, ia membalas ciuman Yuma. Beberapa lama kemudian lidah Yuma ikut ambil bagian, Lisa menyambutnya dan membiarkan lidah Yuma menginvasi mulutnya.

Yuma melepaskan ciumannya, menatap Lisa sebentar. Lisa tersengal baik karena ia habis berlari dan menangis, juga karena ciuman Yuma tadi.

Tanpa pikir panjang Yuma menarik tangan Lisa dan membawa gadis itu ke kamarnya. Sesampainya di situ, Yuma awalnya terlihat sedikit ragu, namun akhirnya ia meraih Lisa yang masih bingung dengan Yuma.

Kali ini ciuman Yuma lebih cepat dan kasar dari sebelumnya, namun Lisa menyambutnya dan membalas ciuman itu. Yuma mendorong tubuh Lisa ke tempat tidur, lalu kembali menghampiri Lisa, menciumi Lisa sementara tangannya sibuk mencoba masuk ke pakaian yang Lisa pakai.

Lisa mengerang ketika tangan Yuma menyentuh lembut dada gadis itu dari luar bra nya. Dan tak butuh waktu lama sampai Yuma mebuka kaos yang digunakan oleh Lisa. Yuma masih menginvasi bibir Lisa, tapi lalu beralih ke leher gadis itu. Lisa menarik kaos yang Yuma pakai sehingga kini mereka sama – sama telanjang dada.

Yuma turun sampai ke dada Lisa, lalu membuka satu – satunya penghalang dari dada Lisa. Tanpa ragu ia menghisapnya, memberi kenyamanan pada gadis itu sementara dada sebelahnya pun sudah disibukka oleh tangan kanan Yuma.

“Hmmm~ Yuma…”, desah gadis itu nikmat.

Yuma meneruskan kegiatannya dengan menurunkan celana Lisa, ia menyelipkan tangannya ke dalam, menuju daerah pribadi gadis itu.

“Jangan… sakit…”, seru Lisa ketika dirasanya jari Yuma masuk ke daerah pribadinya.

Yuma melepaskan dada gadis itu, lalu kembali menginvasi mulut Lisa, mencoba membuat Lisa lebih santai.

“Sshht..tenang…”, kata Yuma sambil menurunkan celana dalam gadis itu.

Muka Lisa merah padam, kini ia benar – benar telanjang di hadapan Yuma. Dengan gerak cepat Yuma juga menurunkan celananya, ia menatap Lisa seakan berkata bahwa ia bisa mempercayai Yuma.

Yuma kembali merayap ke bawah, kini ia menjilat daerah pribadi Lisa dan memasukkan lidahnya ke dalam. Gadis itu menjerit tertahan, dia menutup mulutnya sendiri menahan agar jeritan tak keluar.

“Boleh?”, tanya Yuma sambil kembali menatap Lisa yang tampaknya sudah pasrah dan penuh dengan peluh itu.

“Tapi… aku takut…”, bisik Lisa gemetar.

Yuma membuka laci di sebelah tempat tidurnya, tempat ia menyimpan pengaman untuk miliknya.

“Pakai ini… dan aku akan melakukannya pelan – pelan… tenang ya…”, kata Yuma lembut, mencoba menenangkan gadisnya itu.

Lisa mengangguk.

Yuma memposisikan dirinya dan mulai menyatukan dirinya dengan gadis itu. Lisa menjerit tertahan.

“Saa….sakiiitt…”, keluh Lisa, air matanya mengalir karena sakitnya, ia merasa dirobek.

Yuma mencium Lisa, menyibukkan Lisa, ia membelai Lisa mencoba menenangkan gadis itu.

“Hmmmph..”, Lisa membenamkan kuku – kukunya di punggung Yuma untuk menahan sakit yang ia rasakan.

Yuma terus masuk, tidak lama ia bergerak perlahan, semakin lama semakin cepat. Lisa terengah-engah campuran antara nyaman dan sakit.

Yuma mengerang saat cairannya keluar. Keduanya tersengal, Yuma mengeluarkan tubuhnya dan bangkit dari tempat tidur. Dia berjalan menuju kamar mandi dan melepaskan pengamannya lalu membuangnya di tempat sampah.

Lisa tergolek diatas tempat tidur. Dia menatap Yuma yang naik kembali ke atas tempat tidur. Dengan sayang Yuma membelai Lisa, ia mengelus darah Lisa yang menempel di seprai. Yuma menutupi tubuh mereka dengan selimut, lalu berbaring di sebelah Lisa.

“Gomen na…kalau aku terburu – buru…”, kata Yuma sambil memeluk tubuh Lisa yang masih tersengal, dan penuh peluh itu.

“Apa ini maksudnya Yuma??”, tanya Lisa lirih.

“Ini artinya aku ingin memilikimu seutuhnya, ini artinya aku mulai jatuh cinta padamu…”, kata Yuma tegas.

“Bohong… jangan bohongi aku…”, kata Lisa masih tak percaya.

“Uso janai… aku tahu mungkin kau amsih menganggapku tak serius padamu…”, Yuma mensejajarkan wajahnya dengan wajah Lisa, “Tapi aku tak bohong, aku benar – benar mulai jatuh cinta padamu, dan sebelum semuanya terlambat, aku ingin kau jadi milikku…”, kata Yuma sambil membelai kepala Lisa dengan lembut.

Lisa kembali meneteskan air mata, tapi kali ini berbeda, air matanya penuh dengan kebahagiaan.

“Kenapa?”, tanya Yuma bingung.

“Aku bahagia… aku tak pernah menyangka kau bisa menyukaiku…”, bisik Lisa.

Yuma mencium dahi Lisa lembut, “Aku minta satu hal….”

“Apa?”

“Jangan tinggalkan aku… aku janji aku akan bisa membuatmu bahagia… camkan kata – kataku ini…”, kata Yuma lagi.

Lisa menatap mata Yuma, dan ia yakin tak ada kebohongan disana.

Untuk bertahun – tahun setelahnya ia ingin bersama Yuma, begitu pun dengan Yuma. Kenangan musim panas ini adalah awal dari kehidupan mereka berdua, kehidupan yang ingin mereka jalani berdua.

==========

OWARIIIII!!!!

Hahahahaha… gila~ gemeteran nulisna…hahahaha…

My first NC yg real SMUT… harap di komen…sankyuuu~ XP



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks For Leave A Coment